Asahan – Tim terpadu yang ditugasi untuk menyelesaikan masalah di lahan hak guna usaha (HGU) PT Sari Persada Raya (SPR) di Desa Huta Bagasan Kecamatan Bandar Pasir Mandoge Kabupaten Asahan dinilai tidak terbuka dan setengah hati dalam menyelesaikan masalah di daerah tersebut.
Pasalnya, pada kunjungan tim terpadu yang dibentuk oleh Bupati Asahan pada Kamis (12/10) lalu itu, perwakilan karyawan maupun perwakilan perusahaan PT SPR tidak dilibatkan. Hal ini menimbulkan tanda tanya bagi mereka terkait keseriusan penyelesaian sengketa dengan kelompok penggarap di sana.
“Ada datang tim terpadu yang sebelumnya di bentuk Bupati Asahan meninjau lokasi lahan yang bermasalah ini pada tanggal 12 Oktober 2023, namun kami karyawan atau pihak perusahaan tidak dilibatkan sama sekali. Makanya wajar kami meragukan apakah tim ini benar-benar ingin menyelesaikan masalah ini,” kata Firman Sihaloho didampingi oleh Haida Sinurat koordinator karyawan PT SPR dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (18/10/2023).
Mereka menilai, tim terpadu yang ditugasi Bupati menyelesaikan persoalan lahan perkebunan di HGU PT SPR dengan penggarap ini berpihak kepada kelompok penggarap yang saat ini diketahui telah menguasai sebagian dari ratusan hektar HGU PT SPR dengan membangun barak dan pondok-pondok di sana secara illegal dan menentang undang-undang perkebunan.
“Karena kami karyawan PT SPR ini juga masyarakat Kabupaten Asahan. Sejak konflik ini terjadi dan barak-barak itu dibangun di lokasi usaha perusahaan kami tidak bisa bekerja, anak-anak dan keluarga kami yang tinggal di sana juga diintimidasi. Bagaimana kami bisa hidup dan bekerja kalau seperti ini, siapa yang membiayai kebutuhan keluarga kami. Aparat dan pemerintah juga harus melindungi karyawan yang juga masyarakat Asahan,” kata Firman menjelaskan.
Karenanya pinta Firman kembali, jika tim terpadu yang terdiri dari banyak unsur itu seperti Dinas Pertanian, Kehutanan, BPN, Camat, Polres dan Kodim itu agar transparan dan tidak berpihak dalam menyelesaikan masalah penggarap di lahan HGU kurang lebih 800 hektar yang dipersoalkan kelompok penggarap tersebut.
“Keberadaan pondok dan barak barak dibangun di lokasi perkebunan itu jumlahnya semakin banyak. Kami minta kepada tim terpadu untuk membongkar bangunan itu agar kami karyawan PT SPR tidak merasa terancam tinggal dan bekerja di sana,” ujarnya.
Ditambahkan perwakilan karyawan ini, Tim Terpadu yang didalamnya ada aparat penegak hukum hendaknya juga mengusut siapa mafia tanah dalam persoalan ini.
“Karena kami mendengar ada mafia tanah yang menunggangi aksi masyarakat sebenarnya,” ucapnya.
Sebelumnya, Ketua Tim Terpadu yang juga merupakan Kepala Dinas Perkim Asahan Adi Huzaifah dalam kunjungan pihaknya pada Kamis (12/10) lalu di Desa Huta Bagasan diantaranya menunggu hasil pengukuran ulang BPN provinsi Sumut dan meminta masyarakat penggarap agar membongkar barak barak yang dibangun.
Hanya saja, barak–barak tersebut hingga saat ini belum dibongkar mengakibatkan karyawan yang bekerja mengkhawatirkan keselamatan mereka karena kerap mendapatkan intimidasi dari penggarap.(heri)