Ribuan Ha Hutan Mangrove Pantai Timur Beralih Fungsi Jadi Lahan Sawit, LIPPSU: Kehidupan Nelayan Terancam
MEDAN – Lembaga Independen Pemerhati Pembangunan Sumatera Utara (LIPPSU) menemukan ratusan hingga ribuan hektar (ha) hutan mangrove sepanjang pesisir pantai timur Sumatera Utara telah beralih fungsi lahan jadi perkebunan sawit.
Hal itu diuangkapkan Azhari AM Sinik selaku Direktur Eksekutif LIPPSU, Rabu (30/8/2023), saat menggelar temu pers pernyataan sikap, usai kembali dari perjalanan menelusuri desa pantai kawasan timur Sumatera Utara.
Azhari AM Sinik menyebut aktifitas mafia perampas lahan hutan mangrove dan mengalihkannya menjadi kebun sawit, perlahan akhirnya mematikan kehidupan masyarakat nelayan tradisionil di daerah sepanjang pesisir pantai.
“Merampas hak hidup nelayan tradisional merupakan kezholiman yang terencana, terstruktur dan tersistem. Apalagi, kita menduga adanya keterlibatan para mafia judi dan bandar narkoba dalam perampasan lahan-lahan tersebut, bekerja sama dengan oknum aparatur pemerintah setempat,” jelasnya.
Ia bahkan secara terang-terangan menuding adanya keterlibatan oknum di lingkungan BPKSDA, maupun Dinas BLKH provinsi maupun kabupaten.
“Lahan hutan mangrove yang beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, jelas-jelas merugikan negara triliunan rupiah. Dan juga menghancurkan kehidupan masyarakat nelayan tradisionil,” tambah Azhari Sinik.
Ia mencontohkan temuan kasus seperti di Desa Kwala Gebang. Di kawasan ini, lebih kurang 1200 ha lahan mangrove berubah jadi kebun sawit seluas 900 ha.
“Temuan kita di lapangan, kuat dugaan adanya keterlibatan mafia berinisial A bekerja sama dengan kades setempat. Kita menemukan adanya alur air paluh yang telah ditutup oleh si A. Sedangkan oknum kades terkesan hanya tutup mata dan telinga,” terang Ari Sinik.
Di kawasan desa pantai lainnya juga begitu. Seperti di desa Karang Gading Deli Serdang, Pantai Gading, Kwala Besar, Tapak Kuda Baru, Desa Bubun, Pematang Cengal, Kwala Langkat, Kwala Serapuh.
“Seluruh lahan sawit yang berawal dari lahan hutan mangrove maupun lahan hutan kampung, yang hingga saat ini tidak memiliki status alas hak dan izin yang sah, semuanya dimanipulasi hanya berstatus SK Kepala Desa. Disinilah kita menduga adanya keterlibatan oknum kades menjual lahan rakyat dan hutan mangrove,” ucap Ari Sinik.
Dikatakannya lagi, dari data temuan LIPPSU, pihaknya menduga kuat adanya keterlibatan oknum pejabat kepala daerah.
“Juga ada temuan gratifikasi bernilai fantastis di lingkungan BPKSDA maupun Dinas BLKH Provinsi dan Kabupaten. Serta keterlibatan oknum BPN/T, baik di tingkat kanwil maupun di daerah kabupaten,” ujarnya.
Dalam aksinya, kata Azhari Sinik, para mafia perampas lahan hutan mangrove dan tanah rakyat ini, juga melibatkan para oknum aparat penegak hukum. “Tujuannya untuk menakut-nakuti masyarakat desa dalam rangka untuk menguasai dan mengalihkan lahan hutan mangrove menjadi perkebunan sawit,” ungkapnyam
Temuan LIPPSU, peralihan perampasan hutan mangrove menjadi perkebunan sawit ilegal, juga dipastikan tanpa membayar BPHTB dan pajak HPL maupun HGU pada negara.
“Pantas saja pembangunan infrastruktur pada kawasan Desa Pantai tidak berjalan baik. Uang pajaknya masuk ke kantong oknum pejabat tertentu, seperti kades, camat maupun oknum pejabat lainnya,” ujar Azhari Sinik.
Melihat kondisi ini, LIPPSU dalam pernyataan sikapnya mendesak para pemangku kekuasaan, khususnya Forpimda Sumut dan institusi terkait lainnya, untuk segera membentuk Tim Audit Investigasi Wilayah, yang sampai ini juga belum memiliki peta dasar batas wilayah antara desa dengan desa di seluruh kabupaten di Provinsi Sumatera Utara.
“Kita juga mendesak, aparat penegak hukum agar menangkap para gerombolan mafia penjahat perampas hutan aset negara dan lahan masyarakat, beserta yang terlibat di dalamnya,” ujarnya.
Selanjutnya, ia mendesak agar fungsi lahan mangrove di kawasan pesisir pantai Sumatera Utara dikembalikan. “Jangan biarkan masyarakat desa pantai menderita hidupnya. Dan ingat alam beserta isinya, tanah dan hutan yang diamanahkan kepada negara, bukan milik oknum pejabat tertentu, terutama kades. Tanah dan hutan itu diamanahkan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat bukan menindas rakyat. Apalagi manakuti dan membodohinya,” tegas Ari Sinik.
Ia mengajak seluruh pihak menyelamatkan hutan mangrove dan selamatkan kehidupan masyarakat nelayan pesisir pantai. “Kita tidak butuh banyak kebun sawit, kalau rakyat banyak yang kelaparan. Jangan akhirnya kita hanya makan buah sawit,” ujar Ari Sinik. (S/red)